berita

Source: http://www.amronbadriza.com/2012/07/cara-membuat-judul-blog-bergerak.html#ixzz2HGOAa7ZG

Senin, 04 Oktober 2010

MEMBUDIDAYAKAN PAKAIAN ADAT KOTEKA

Oleh Fransisikus Kasipmabin*


Pakaian adat yang biasannya dipakai setiap daerah merupakan bagian dari identitas suku bangsa daerah tertentu. Sampai sekarang inipun, setiap daerah mempertahankan pakaian daerahnya walaupun sebagian besar terkikis oleh pakaian modern misalnya di daerah Yogyakarta mempertahankan pakaian daerah serta tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang mereka Hal ini merupakan sangat penting karena dengan pakaian daerah, bahasa, tradisi daerah mempertahankan harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia. Beberapa bulan yang lalu pemerintah Indonesia mengalami kegoncangan dengan adanya isu eksploitasi dan mengadopsi tarian dan pakaian adat yang ditiru dan atau diambil oleh pemerintah Malaysia. Ini merupakan salah satu contoh ketidaksiapan dalam melindungi berbagai pakaian local yang ada di Indonesia.
Provinsi papua juga memiliki beberapa pakaian adat yang berbeda-beda yang dimiliki oleh setiap suku yang tersebar di seluruh tanah Papua dan Papua Barat. Orang papua biasannya mengatakan bahwa ada dua model pakaian tradisional selama ini ditafsirkan dengan konteks yang berbeda. Namun itu semuanya unik dan membanggakan bagi masyarakat malaynesia yaitu diantranya pakaian adat pantai dengan pakaian adat pegunungan. Maka pada bagian ini penulis mau menggarap tentang pakaian koteka. Dengan demikian, sebagai regenerasi penerus bangsa papua musti mengetahui dan dapat dipelajari tentang nilai-nilai koteka, manfaat koteka, serta melestarikan koteka di abad 21 ini.
Menurut kamus bahasa Indonesia koteka adalah merupakan pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam sebagian besar penduduk asli papua. Koteka terbuat dari kulit labu berair. Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Secara berbeda- beda masyarakat di daerah Pegunungan Bintang, masyarakat biasanya membakar buah labu yang tua didalam debu panas dan mengeluarkan isinya. Secara harfiah, kata ini bermakna "pakaian", Sebagian suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya holim atau horim, suku Ngalum biasa menyebut Bong, suku Ketengban menyebutnya balape atau balapu. Secara kronologis koteka di Pegunungan Bintang bentuknya sama yaitu panjang dan pendek.
Menurut bapak Hironimus Bamulki ketua adat sub distrik Oksibil, Iwur, Pepera mengatakan bahwa dari enam suku besar di Aplim apom pakaian adat (bong) diciptakan dan diberikan kepada marga-marga terkemuka diantaranya uropmabin (pertama), kasipmabin (kedua), kakyarmabin (ketiga), kalakmabin (keempat/bungsu). Sekaligus memberikan sejumlah perlengkapan dan peralatan misalnya anak panah dan busur, kampak batu, tiva, japet atau gelang, noken (tas) papua dan unom (jawat) bagi kaum perempuan, sehingga masyarakat Pegunungan Bintang meyakini bahwa semua itu diciptakan oleh “Atangki” (Tuhan Allah) dan memberikan kepada umatNya yang tersebar diseluruh tanah Aplim Apom. Dari keturunan pertama sampai keturunan ke tuju pernah memakai koteka, sedangkan angkatan kalian adalah keturunan ke 8.
Tidak sebagaimana anggapan umum, ukuran dan bentuk koteka tidak berkaitan dengan status pemakainya. Ukuran biasanya berkaitan dengan aktivitas pengguna, hendak bekerja atau upacara. Banyak suku-suku di papua dapat dikenali dari cara mereka menggunakan koteka. Koteka yang pendek digunakan saat bekerja , dan yang panjang dengan hiasan-hiasan digunakan dalam upacara adat. Selain itu biasa digunakan pada saat-saat acara tarian adat. Namun demikian, setiap suku memiliki perbedaan bentuk koteka. Orang Ngalum misalnya, menyukai bentuk labu yang panjang dan pendek melingkari, orang Dani menyukai besar, orang Tiom menyukai besar tapi bentuknya dua.
Dalam konteks orang Pegunungan Bintang pada khusunya dan pada umumnya wilayah pegunungan memiliki kearifan yang sama dalam tata cara praktek kehidupan seperti penggunaan koteka. Pemakaian koteka menurut orang Ngalum biasanya berbeda-beda. Koteka ukuran boca berbeda dengan ukuran dewasa. Biasanya orang tua mengajarkan koteka pada saat umur 6-13 tahun. Dengan harapan bahwa anaknya mampu membuat koteka sendiri. Untuk menunup alat kemaluan pria dengan koteka, beberapa alat bantu yang seharusnya dibuat. Diantranya menahan koteka dengan tali khusus yang dibuat dari kulit kayu. Cara memasang yaitu melubangi pada koteka dan memasangkannya. Agar tidak sakit pada alat kemaluan, lubang koteka dihiasi dengan bongmip atau gelang yang terbuat dari daun buah merah yang masi menta. Cara memakai koteka yang baik dan benar seperti biasannya diajarkan oleh orang tua. Cara memakai koteka menunjukan kepawaian dan kepribadian seorang laki-laki. Tubuh yang kekar bagi seorang pria berkoteka adalah idaman seorang wanita suku Pegunungan Tengah seperti suku Ngalum, kupel, Dani, Mee dan beberapa suku terpencil di daerah pedalaman papua. Agar penampilan seorang pria lebih perkasa dan berwibawa, seluruh bagian kulit lebih khusus di betis dan lengan dihiasi dengan gelang, masyarakat Dani seluruh tubuh kulit luar termasuk rambut dilumuri minyak babi agar kelihatan hitam mengkilat dan licin bila terpanggang matahari. Lemak babi itu dioleskan di wajah, pinggang, kaki, dan tangan. Biasanya dipakai pada saat pergelaran pesta adat seperti bakar batu.
Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku–suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka. Orang pertama yang membawa pakaian di kabupaten pegunungan bintang, tepatnya Oksibil adalah orang Belanda yang bernama pastor Paderparer pada tahun 1959. Pada tahun 1970 bisa memakai pakaian. Bagi orang luar, Koteka dinilai sebagai salah satu bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan. Koteka bukan pakaian. Pria yang mengenakan koteka dilihat sebagai pria telanjang dan tidak beradab. Tetapi, dari sisi orang Papua, koteka adalah pakaian resmi orang Papua. Jangan heran jika masyarakat memakai koteka, ketika pada saat penjemputan, atau acara-acara besar-besaran.
Anti Koteka
Secara bertahap, sosialisasi mengenai gerakan pemberantasan koteka pun mulai digalakkan. Gubernur Frans Kaisepo (1964-1973) mulai menyosialisasikan kepada masyarakat mengenai pakaian yang sehat, sopan, dan bermartabat. Pada tahun itu pun masyarakat Pegunungan Bintang Bisa memakai pakaian. Kemudian dilanjutkan dengan kampanye antikoteka oleh Gubernur Soetran. Sosialiasi dilanjutkan Gubernur Acub Zainal, Gubernur Busiri Suryowironoto, dan Gubernur Isac Hindom. Pada masa pemerintahan Gubernur Barnabas Suebu (1988-1993) dan Yacob Pattipi (1993-1998) mulai dilakukan kampanye antikoteka di Pegunungan Tengah. Puluhan ton pakaian dijatuhkan di beberapa kecamatan dan kampung-kampung di Pegunungan Tengah yang merupakan basis koteka. Tetapi, kampanye antikoteka dengan cara itu tidak banyak membantu masyarakat koteka. Satu dua potong pakaian yang dibagi kepada masyarakat tidak bertahan lama. Pakaian itu dikenakan terus siang-malam, dan tidak dicuci sampai hancur di badan.
Ketika pakaian hancur, tidak ada pakaian baru sebagai pengganti. Kondisi geografis yang sangat sulit dijangkau, membuat mereka seakan-akan tetap terisolasi di tengah hutan. Tidak mengenal peradaban modern dan tidak tahu caranya mendapatkan pakaian. Mereka juga tidak tahu bagaimana cara merawat dan menjaga pakaian agar tetap awet di badan. Kampanye antikoteka tidak disertai pembangunan infrastruktur yang menghubungkan masyarakat kota dengan masyarakat terisolasi sehingga tidak banyak membawa perubahan. Ada kesenjangan cukup besar antara masyarakat kota yang sebagian besar dihuni warga pendatang dengan masyarakat pedalaman yang dikuasai penduduk asli.

Sumber:
Wawancara ketua adat Sub Distrik Oksibil, Iwur, Pepera, http://www.infopapua.com (Berbagai sumber)
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Tidak ada komentar: