berita

Source: http://www.amronbadriza.com/2012/07/cara-membuat-judul-blog-bergerak.html#ixzz2HGOAa7ZG

Kamis, 19 April 2012

INDUSTRI MEDIA DIKELAMKAN

Oleh Fransiskus Kasipmabin

Filsuf Ingiris Bertrad Russell, memberi nasihat kepada mahasiswanya “lakukanlah pengamatan sendiri. Seharusnya Aristoteles dapat menghindari kekeliruan tentang perkiraan bahwa wanita mempunyai jumlah gigi yang lebih sedikit dari pria andaikan ia mau meminta istrinya untuk membuka mulutnya dan menghitungnya sendiri. Menganggap bahwa kita tahu, padahal tidak, adalah kesalahan fatal yang cenderung kita lakukan.

Menurut seorang wartawan Tabloit Jubi Papua yang pernah menulis dan dimuat di bloknya sekitar bulan september 2011 bahwa ada seorang teman wartawan pernah menerima amplop dari seseorang pejabat teras Papua. Masalah amplop tidak asing bagi wartawan media-media lokal di Papua. Mengapa harus demikian? Menurut hemat penulis keprofesionalismenya belum ada dan wartawan menyampaikan berita atas dasar kebenaran tidak ada karena disokong dari para pejabat yang notabene takut namanya tercemar di masyarakat umum. Menerima amplop, dengan sendirinya melemahkan kekuatan wartawan. Kekuatan wartawan di sini bahwa apa yang dipikirkan, dirasakan, dilihat, didengar dan terutama keluar dari sembilan elemen jurnalisme menurut Bill Kovach dan Rosentiel. Selain itu, kemungkinan terjadi karena gaji wartawan yang bekerja di beberapa koran lokal di Papua tidak dibayarkan dari perusahaannya, sehingga wartawan melakukan perbuatan demikian. Namun di balik misteri terselubung itu, seharusnya seorang wartawan sebagai seorang independen yang tidak memihak kepada siapa-siapa, tetapi loyalitas wartawan pada kebenaran. Memperkuat pernyataan di atas menurut ketua Forum Komunikasi Mahasiswa dan Pelajar Katolik Papua Daerah DIY dan Jawa Tengah dalam diskusi menyikapi masalah kekerasan di Papua terutama masalah di Timika bahwa media-media lokal di Papua menyampaikan berita kriminal dan atau kasus kekerasan dari aparat keaman (TNI, POLRI,) kepada warga sipil tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka (wartawan) menyampaikan seharusnya menjadi tidak seharusnya. Hal ini tentu sangat prihatin. Prihatin karena para wartawan menulis tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Semua ini terjadi karena kelalaian wartawan atau kebijakan dari direktur perusahaan. Kebijakan dari direktur perusahaan kemungkinan bisa terjadi karena direktur mencari profit. Korporasi-korporasi atau industri media yang ada di Papua dipegang atau dikelola oleh orang asing.
Berbicara jurnalistik pasti akan mengenal sembilan elemen jurnalisme yang ditawarkan oleh Bill Kovach dan Rosenstiel.
1. Kebenaran adalah hal pokok yang harus diperhatikan dalam jurnalistik. Menyampaikan kebenaran kepada publik menjadi prioritas para wartawan.
2. Loyalitas kepada masyarakat dapat diprioritaskan karena menyangkut masalah publik bukan karena kepentingan individualistik.
3. Mementingkan kepentingan umum adalah loyalitas pertama.
4. Disiplin seorang wartawan untuk melakukan perifikasi.
5. Untuk mengetahui apakah yang ditulis itu benar atau tidak, perluh ada pengkajian ulang terhadap suatu objek atau hal dari berbagai sumber untuk memperkuat atas suatu hal yang kita tulis.
6. Seorang wartawan dalam tugasnya adalah bebas atau kebebasan dalam peliputan. Bebas disi berpikir, bebas untuk bertindak, bebas untuk menelaa objek yang dituju. Kebebasan dari sumber yang mereka liput.
7. Selain kebebasan untuk meliput, para wartawan juga sebagai pengontrol keluasaan atas kebijakan peguasa atau pemerintah. Wartwan adalah penjaga watchdog.
8. Elemen berikut adalah menyediakan forum untuk kritik dan saran bagi sebuah karya. Selain menyediakan forum, wartawan juga menulis berita atau sebuah tulisan harus menarik dan relefan sehingga para pembaca dapat dengan mudah memahami isi tulisan tersebut. Maksud relefan disini adalah bahwa sesuai dengan apa yang wartawan tulis. Berita juga proforsional dan komprehensip sehingga masyarakat mengikuti berita atau tulisan tersebut dan masyrakat dapat melakukannya.
9. Hal mendasar bagi seorang wartawan adalah mendengarkan suara hati. Tulislah apa yang dirasa baik dan benar dan dapat bermakna bagi kalayak umum.
Berpikir skeptis adalah hal mendasar bagi seorang wartawan. Skeptis itulah ciri utama atau khas jurnalisme. Dengan demikian berpikirlah skeptis. Karena segala sesuatu pasti berpikir ombang ambing dalam pengambilan keputusan. Tom Frietmand dari Newyork Times mengatakan skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Contoh orang skeptis : saya kira itu tidak benar, saya akan mengeceknya, itu tidak mungkin. Lain halnya dengan sikap sinis. Contohnya saya yakin itu tidak benar, itu tidak mungkin, saya akan menolaknya. Bertindak dan action merupakan ciri khas wartawan. Namun hal ini kurang dilakukan oleh wartawan. Para wartawan kita memperkuat data mereka menelepon ke pihak-pihak yang dikatakan terlibat dalam sebuah kejadian atau mendapatkan opini. Wartawan tidak menungggu sampai peristiwa itu muncul, tapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan. Sayang sekali ketika wartawan tidak melakukan demikian.
Para wartawan yang bekerja di Papua mereka jarang sekali melakukan action di daerah pedalaman pegunungan Papua yang notabene dengan basis kekerasan. Wartawan tidak langsung ke lapangan dan melakukan liputan. Bagaimana mungkin berita yang dikatan benar dan akurat bisa dimuat di Bintang Papua, Cenderawasih Pos. Papua Post dan koran local lainnya. Misalkan saja kita ketahui bersama bahwa sekecilpun para wartawan belum masuk di Pegunungan Bintang kabupaten pemekaran dari Jayawijaya khususnya dan daerah lain secara umum mereka meliput di sana. Beberapa bulan yang lalu berita dari Begununan Bintang muat di Papua Pos berkenaan dengan hari hulang tahun kabupaten yang ke-8. Isi berita tersebut menyampaikan kesuksesan saja tetapi kendala-kendala dan persoalan yang di hadapi oleh pemerintah daerah, masyarakat sekitar akibat perluasan pembangunan fisik, kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan POLRI yang bertugas di Oksibil terhadap warga setempat belum disampaikan. Bagaimana mungkin orang lain membantu kita, jika kita menutup diri dari berbagai persoalan? Kesuksesan tidak semua tetapi sedikitpun dibesar-besarkan? Seperti yang disampaikan oleh Drs. Welington Wenda selaku Bupati Pegunungan Bintang di Papuapos. Kalau kita jelih melihat secara baik dan benar dan para wartawan langsung turun ke lapangan pasti dijemput dengan berbagai masalah.
Bill kovach dan rosentiel mengemukakan dalam bukunya yang dikutip oleh Luwi Ishwara disampaikan bahwa jurnalisme mendorong suatu perubahan. Theodore Jay Gordon dari Future Group di Noank, Connecticut bahwa ada empat kekuatan yang mengubah paskah industrialisasi: (1) munculnya abad computer dan dominasi elektronika; (2) globalisasi dari komunikasi, di mana georgafi menjadi kurang penting; (3) perubahan demografi terutama pertambahan orang-orang yang berumur di atas 40 tahun; dan (4) perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Namun demikian, wartawan di Papua belum sadarai. Para wartawan perlu sadari bahwa berjurnalis mendorong suatu perubahan. Dengan teknologi yang ada para wartawan mengunakan sebaik-baiknya dan mengekspous ke publik sehingga orang lain bisa tahu dan membantu kita jika ada kekurangan.
Menjadi wartawan tidaklah gampang. Karena terpanggil menjadi wartawan tidak semuda dibayangkan oleh banyak orang. Menjadi wartawan adalah tujuan muliah. Paus Johanes Paulus II mengatakan: “dengan pengaruh yang luas dan langsung terhadap opini masyarakat, jurnalisme tidak bisa dipandu hanya oleh kekuatan ekonomi, keuntungan dan kepentingan khusus. Jurnalisme haruslah diresapi sebagai tugas suci, dijalankan dengan kesadaran bahwa sarana komunikasi yang sangat kuat telah dipercayakan kepada anda demi kebaikan orang banyak”. Beda dengan pendapat James c. Thomson Jr., Kurartor Nieman Foundation, mengatakan bahwa surat kabar harus mengoperasikan keduannya: mendapatkan uang (setidaknya tidak rugi) dan berbuat baik (mengungkapakan ketidakadilan dengan demikian memperbaiki masyarakat). Kemampuan wartawan dalam kecepatan menulis berita, dan berita tersebut akurat, jujur terhadap kebenaran belum sepenuhnya dilakukan oleh wartawan-wartwan di Indonesia dan Papua pada khususnya. Akurat berarti kita harus mendapatkan informasi yang pasti, yang tidak bisa dibanta. Menjadi wartawan sejati pasti melalui proses setidaknya pendidikan dasar tentang jurnalisme. Pendidikan dasar jurnalis di Indonesia sangat kurang dibandingkan negara tetangga. Pendidikan komunikasi sangat penting untuk mengajarkan kepada mahasiswa yang ingin menjadi wartawan. Pendidikan jurnalis di Papua barangkali belum mendengar dan merasakan bahwa menjadi wartawan harus memproses diri dalam pendidikan, terutama pendidikan tentang jurnalisme. Para penulis yang pernah muncul dari Papua berawal ketika motivasi itu timbul dari diri sendiri. Belum ada dasar yang kuat diperoleh dari orang tua, sehingga cita-cita menjadi wartawan seketika ia mengalami proses pendidikan di perguruan tinggi. Oleh sebab itu ruang untuk berporoses semakin sempit dan pada akhirnya menjadi buntu menghadapi tantangan dan atau persoalan.
Untuk mengangkat kembali persoalan atau potret buram industry media di Papua perlu membuka pendidikan jurnalis di Papua sehingga orang asli Papua yang ingin kuliah di jurnalis bisa mendalami ilmunya. Mendapatkan pendidikan, memproses diri, mengalami, memahami, dan pada akhirnya membongkar persoalan, membebaskan akar ketidakadilan, membuka wacana publik memberikan rekomendasi kepada pihak terkait sehingga pada akhirnya pemerintah maupun swasta mengambil kebijakan dengan baik sesuai dengan kebutuhan yang ada. Berbicara pendidikan jurnalis kadangkala membingungkan karena pendidikan jurnalis di Jawa saja belum sebanyak Thailand. Kalau hitung-hitung atau ibarat pendidikan jurnalis di Indonesia ada (3) sedangkan di Thailand ada 5. Sekolah jurnalis di Indonesia masi beroperasi di Pulau Jawa sedangkan di luar Pulau Jawa belum. Dari 69 sekolah jurnalis di Indonesia semua berada di Pulau Jawa, sedangkan di Wilaya Indonesia Timur belum ada (andreas harsono/luwi ishwara).

Tulisan ini disampaikan pada pendidikan dasar jurnalistik (DIKDAS-1) anggota baru KOMAPOnews 2011/2012 di Realino Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak ada komentar: