berita

Source: http://www.amronbadriza.com/2012/07/cara-membuat-judul-blog-bergerak.html#ixzz2HGOAa7ZG

Rabu, 25 April 2012

MAHASISWA DALAM ORGANISASI DAN PENDIDIKAN

OLeh : Agus Uropka


Mahasiswa Pada saat ini merupakan harapan terbesar bagi masyarakat daerah maupun Negara sebagai penyambung lidah rakyat terutama sebagai perubahan di masyarakat (Agen social of cahange). Sebagai salah satu potensi, mahasiswa sebagai bagian dari kaum muda dalam tatanan masyarakat yang mau tidak mau pasti terlibat langsung dalam tiap fenomena sosial, harus mampu mengimplementasikan kemampuan keilmuannya dalam akselerasi perubahan ke arah yang berkeadaban. Keterlibatan mahasiswa dalam setiap perubahan tatanan kenegaraan selama ini sudah menjadi jargon dan pilar utama terjaminnya sebuah tatanan kenegaraan yang demokratis. Romantisme politis antara mahasiswa dengan rakyat terlihat sebagai fungsinya sebagai social control termasuk terhadap kebijakan menindas. Kebiasahan Mahasiswa, dalam hal ini sudah menunjukkan diri sebagai salah satu potensi yang dapat diandalkan dalam upaya menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dan distribusinya baik secara kualitas maupun kuantitas dalam segala aspek kehidupan sosial sudah semestinya diperhitungkan. Bentuk keberhasilan dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat berkeadaban di daerah adalah dengan semakin kecilnya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, peningkatan taraf ekonomi dan pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, itu semua hanya akan menjadi mimpi belakang manakala semua konsep-konsep yang dibangun dan berbasis kerakyatan tersebut tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan jatu ke arah tujuan tersebut. Dan maksimalisasi fungsi mahasiswa dan kaum muda dalam tiap laju demokratisasi merupakan salah satu pilar utama yang perlu diperhatikan. Sekali lagi, peran mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sosial ditunggu. Diharapkan mahasiswa mampu memainkan peran yang strategis. Kesatuan visi, tekad, dan perjuangan untuk kepentingan masyarakat secara luas, menjadi pondasi utama peran tersebut saat ini atau nanti. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, sekali lagi, perlu pemetaan, perumusan, dan penelaahan metode penerapan fungsi mahasiswa dalam kancah epistemologi keumatan tersebut.

Berikut adalah asil wawancara saya dari salah satu Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Bapak Dr. C. Teguh Dalyono, M.S. ketika saya menemuinya dan bertanya tentang Apa Peran Mahasiswa Dalam Organisasi Dan Pendidikan? Beliyau mengatakan bahwa banyak Mahasiswa yang aktif ber-organisasi secara konsisten semata-mata memiliki pemahaman bahwa organisasi merupakan sebuah budaya sarana yang efektif dalam meng-kader dirinya sendiri untuk ke depan. Sebagian di antaranya masih mempunyai keyakinan pandangan bahwa organisasi merupakan tempat menimba ilmu yang tidak terbatas hanya pada pelajaran. Dengan bergabung aktif dalam organisasi yang bersifat kelompok ataupun individu akan berefek kepada perubahan yang signifikan terhadap wawasan, cara berpikir, pengetahuan dan ilmu-ilmu sosialisasi, kepemimpinan serta menajemen kepemimpinan yang notabene tidak diajarkan dalam kurikulum normatif Perguruan Tinggi. Namun, dalam ber-organisasilah dapat diraih dengan memanfaatkan statusnya sebagai kebiasaan mahasiswa. Pemahaman arti penting sebuah organisasi dan aktivitas organisasi mahasiswa adalah salah satu persoalan yang pertama-tama harus diluruskan. Adanya anggapan bahwa ber-organisasi berarti berdemonstrasi, atau ber-organisasi khusunya di luar kampus tidak lebih dari sekadar membuang sebagian waktu, energi, ajang mencari kawan atau mencari jodoh merupakan bukti adanya kesalapahaman tentang presepsi sebagian mahasiswa tentang organisasinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka organsiasi dituntut untuk terus meningkatan kualiatas dirinya. Dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat mahasiswa. Sebagai miniatur pemerintahan negara dalam penyelenggaraan negara yang semestinya dilakukan oleh aparatur negara. Maka, organisasi harus meng-adopsi prinsip-prinsip pemerintahan layaknya dalam sebuah negara dan dikolaborasikan dengan prinsip sebagai organisasi pengkaderan dan perjuangan. Dengan demikian, satu media yang dapat membentuk kematangan mahasiswa dalam hidup bermasyarakat ialah organisasi. Dengan senantiasa ber-organisasi maka mahasiswa akan senantiasa terus berinteraksi dan beraktualisasi, sehingga menjadi pribadi yang kreatif serta dinamis dan lebih bijaksana dalam persoalan yang kita hadapi. Ujar Bapak C. Teguh Sambil terseyum di depan ruangan II/K 45 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Berikut adalah asil wawancara saya dari salah satu mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sdr. Mahiswara ketika saya menemuinya di kampus USD. Bebincang tentang Apa si Peran Mahasiswa Dalam Organisasi Dan Pendidikan? Tetapi Beliyau lebih khusus berbincang tentang peran mahasiwa dalam pendidikan? Beliyau mengatakan bahwa:
PENDIDIKAN adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi akal dan pikiran. Proses pendidikan berjalan sejak dalam kandungan sampai keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses Budaya pendidikan yang paling efektif adalah melalui pendidikan formal non formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu. Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika Budaya perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi. Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan istilah Budaya Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mahasiswa dan kampus adalah entitas yang tidak dapat dipisahkan dari dunia Pergurna Tinggi. Kampus adalah dunia yang sangat dekat dengan mahasiswa, dimana tidak hanya dihuni oleh mahasiswa, tapi juga dosen, petugas kebersihan, satpam, pegawai administrasi, serta para biokrat yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, diperlukannya kesejateraan dengan tunjangan sistem baik pendidikan maupun administrasi. Namun hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Dimana kecendrungan Budaya sistem dan kurikulum pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai jati diri bangsa. Kenyataan saat ini lebih menunjukan pada gerak industrialisasi dengan semakin berkembangnya sistem kapitalis. Dibandingkan dengan pemberdayaan sumber daya alam, agraris dan maritim. Ironisnya lagi tidak ditemukan adanya singkronisasi. Padahal, ilmu pengetahuan bukan hanya mempertahankan kebenaran objektif semata, tapi juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya dan agama yang representatif dalam masyarakat bangsa ini. Hal ini menyebabkan, pendidikan yang seharusnya menjadi komunitas ilmiah justru berbalik menjadi sebuah lembaga yang jauh dari agenda kerakyatan. Sistem yang berlaku di Perguruan Tinggi saat ini tidak lebih dari layaknya sebuah pabrik, sebagai produsen bagi tenaga kerja. Pendidikan yang seharusnya menjadi tranformasi nilai-nilai moral yang humanis-religius malah mentaransformasikan nilai-nilai mesin yang mekanistis, sehingga menjadikan manusia yang oportuni, berpikir jangka pendek, dan materelistis. Sejauh pengalaman yang pernah ada, Perguraun Tinggi (baik negeri maupun swasta) masih dominan berdiri di alam lain yang justuru kontra produktif dengan kepentingan rakyak. Kenyataan seperti senada dengan kritikan Ivan Illick dan Paulo Freire terhadap dunia pendidikan di negara berkembang yang justuru tidak menghasilkan apa-apa. Perguruan Tinggi belum menemukan urgensi-nya dalam menyediakan produk unggulan dalam negeri, yaitu mahasiswa. Melihat permasalahan yang ada maka langkah-langkah yang efektif dan konferhensif dengan didukung oleh seluruh civitas akademik. Perlu adanya perubahan paradigma secara struktural maupun kultural tentang esensi pendidikan. Institusi perguraun tinggi harus sadar betul bahwa peningkatan sarana dan prasarana sangatlah penting bagi tercapainya tujuan pendidikan, serta semaksimal mungkin pada usahanya menyelenggarakan proses belajar mengajarkan. Tentunya orientasi studinya terfokus pada pamahaman dan pengembangan ilmiah. Pada umumnya Perguraun Tinggi swasta lebih cendrung meningkatkan kualitasnya pada bidang penyelenggaraan pendidikan dalam meraih kepercayaan pada masyarakat akan keberhasilan program-program pendidikan. Penguasaan kondisi lingkungan dalam proses belajar mengajar akan menajdi motivator pada tinggkat lingkungan pendidikan. Dan kuatnya motivator perguaran tinggi akan menjadi katalisator budaya mayarakat diwilayahnya. Hanya terkadang ada beberapa Perguran Tinggi yang mengabaikan, terutama kampus-kampus non-favorit. Sarana dan prasarana infratruktur tidak dikelola dengan baik, tentunya dengan beragam faktor yang mempengaruhinya. Terutama disebabkan rendahnya biaya pendidikan dan jumlah mahasiswa. Hal ini akan semakin parah jika pemegang kebijakan institusi Pendidikan Tinggi tersebut lebih berorienrasi materialistik jangka pendek. Akibatnya kondisi pendidikan dibiarkan. Penguasaan dan pemanfaatan teknologi dalam lingkup perguran Tinggi adalah hal yang tidak kalah penting. Selama ini kita meyakini bahwa penguasaan teknologi merupakan jawaban dari ketertinggalan yang dialami bangsa ini terhadap bangsa lain. Pemanfaatan teknologi komputerisasi di Perguran Tinggi akan memungkinkan keteraturan administrasi sekaligus dapat mengontrol manajemen pendidikan dengan mudah. Dengan pengusaan teknologi diharapkan mahasiswa dapat memperoleh kemudahan administratif dan dalam mengakses ilmu pengetahuan sehingga proses pencerdasan dapat berjalan secara cepat. Pendidikan berbasis teknologi nampak seperti satu-satunya jawaban yang dibutuhkan. Jika itu dapat terlaksana maka institusi Pendidikan Tinggi harus menghargai sisi profesionalisme pendidik. Artinya, bahwa kesejahteraan pendidik dan karyawan adalah akan kretivitas, mobilitas serta yang perubahan secara fundamental yang akan terus maju ke depan dan tidak lagi resah akan dapurnya. Dan pasrah pada “ritualitas pembodohan” yang dia tahu, namun tidak dapat berkutik dirinya. Inilah yang harus terngiang ditelinga “founding education”, sehingga survive tidak ada lagi di kepala dan dada, namun semangat dan peluang-peluang penyadaran akan bangsa ini tertelak di dalam forum yang disebut dengan pendidian harus dapat diterjemahkan secara holistik dan revesioner. Sebab jika hal ini dibiarkan akan sangat rentan terhadap godaan-godaan duniawi yang sama artinya memberi ruang bagi untuk tumbuh subur dalam institusi Pendidikan.

Pembaca yang Budiman: Semuga dengan membaca tulisan ini bias mengingatkan kaita untuk terus berjuang membangun KOMAPO dengan nilai kepemimpinan rasa tanggung jawab kita bersama …. Kalau Bukan kita siapa lagi…………………...??
KERJA
Kerja Adalah Wujud nyata Cinta Bila Kita Tidak Dapat Bekerja Dengan Kecintaan, Tapi Hanya Dengan Kebencian, Lebih Baik Tinggalkan Pekerjaan Itu. Lalu, Duduklah Di Gerbang Rumah Ibadat Dan Terimalah Dari Mereka Yang Bekerja Dengan Penuh Suka Cita…………………….??


Penulis adalah : Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Fakultas : Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan (FKIP)
Jurusan : Pendidikan Ekonomi

Tidak ada komentar: