Oleh
Fransiskus Kasipmabin*
Di muka bumi ini tidak satu pun
yang menimpah orang orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara.
Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara,
misalnya, Anda tidak di paksa membeli dan membaca buku-buku karangan sipir atau
kepala penjara. Dalam komentarnya
Bernard Show pada Parenst and Childernd.
Sekolah memang penjara yang paling memberatkan
pikiran, tenaga fisik dari pada penjara biasa. Penjara dalam kamus besar bahasa
Indonesia adalah tempat mengurung orang hukuman. Orang yang bersalah dimasukan
ke dalam kurungan. Sedangkan sekolah orang yang tidak bersalah pun
dipenjarakan. Anak yang ingin belajar di sekolah, malah pihak sekolah
memenjarakan anak tersebut. Belajar di luar sekolah lebih baik dari pada
belajar di sekolah, namun guru dan orang tua memaksa anaknya belajar di
sekolah. Belajar merupakan suatu hal yang sifatnya berusaha (mencari,
mendapatkan, berlatih untuk mencoba) suapaya mendapatkan sesuatu kepandaian. Dengan
memperoleh kepandaian, mampu merubah dirinya dari segala bentuk kebodohan.
Belajar untuk tau dari tidak tau. Belajar untuk memahami dirinya, merubah
drinya menjadi manusia yang seutuhnya. Memahami dan Menemukan dirinya sebagai Manusia yang seutuhnya, maka manusia tersebut
memanusiakan manusia lain, bukan memenjarakan manusia lain. Lain halnya dengan
sekolah di papua, sekolah hadir di papua untuk memenjakan manusia Papua.
Masuknya pendidikan (sekolah ) di
papua, terutama sekolah formal membawa sebuah harapan yang ketidakpastian. Sekolah hadir di papua untuk hanya
memberantaskan buta huruf. Sekolah hanya
mengejar nilai uang, berapa yang sekolah dapat, jenis uang apa yang akan dapat,
setiap tahun uang biaya operasional sekolah (BOS) semakin meningkat, sehingga
berapa yang dapat uang dalam setiap tahun. Setiap tahun berapa sekolah yang
dibangun? Seorang guru mendata siswa dengan data palsu 100 anak kampong. Guru
tersebut membuat permohonan kepada dinas terkait untuk membangun gedung yang sangat
megah. Pada hal kampong tersebut tidak mencapai 100 orang. Membuat data fiktif
untuk membangun gedung. Biaya operasional naik, menambah gedung, tanpa
dilengkapi dengan fasilitas. Menabah sekolah Internasional. Membuka sayap ke
pelosok nusantara demi mengejar citra bangsa Indonesia di mata dunia. Mengejar
target tanpa esensi dari pendidikan merupakan pekerjaan yang sia-sia. Bangsa
ini tambah melarat.
Sekolah mewajibkan membeli buku, sekolah
mewajibkan membeli modul mata pelajaran. Modul tersebut berkisar 20 sampai 30
halaman, namun dibayar 70 000 sampai 100 000. Logisnya jika Anda fotokopi satu
lembar kertas seharga 100 rupiah, maka jumlah dana yang dikeluarkan untuk biaya
2 000 sampai dengan 3 000. Sekolah mewajibkan anak harus bayar uang SPP, membayar
uang pembangunan, uang semester, sekolah menuntut harus membayar pakaian
seragam sekolah, membayar pakaian batik. Sekolah memungut biaya-biaya yang
lain. Memang sekolah tempat perdagangan apa bukan? Atau Sekolah adalah pasar.
Tempat transaksi antara para pemangku
kepentingan pendidikan.
Sekolah di papua hanya dipahami
sebagai bangunan, runag kelas yang megah, kursi yang bagus, diding sekolah yang
megah dan halaman sekolah yang luas. Pohon-pohon yang rindang.Kebanyakan
masyarakat papua menterjemahkan sekolah hanya sebatas bangunan
fisik. Jika seorang guru meamndang demikain, maka stop menjadi guru. Sedangkan
guru di pedalaman papua, masyarakat sangat menghargai gelar yang namanya guru. Malah
warga setempat menghucapkan kata “selmat
pagi pag guru” selamat siang, selamat sore, dan selamat malam pak guru”. Ini
ucapan yang diucapkan oleh masyarakat setempat, karena mereka percaya bahwa
memang dia adalah seorang guru yang benar benar guru bagi dirinya, guru bagi
anak mereka dan guru bagi masyarakat
setempat. Namun yang sering terjadi berbgai kasus di papua terutama pedalamn
papua adalah seperti hal-hal yang seperti diutarakan di atas. Selain itu bebrapa
kasus yang terjadi bahwa sering terjadi pagar makan tanaman, banyak kasus
seorang siswi hamil karena dihamili oleh bebrapa guru. Sekolah di papua memang
penjara yang paling kejam di bumi ini. Banyak kasus-kasus yang terjadi terutama
sekolah sekolah di papua, baik itu, kasus penganiayaan guru terhadap siswa,
kasus pelecehan seksual, kasus penindasan dalam mata pelajaran.
Sekolah-sekolah di papua
mengajarkan kepada siswanya dengan mengtakan bahwa “Indonesia ibukota Jakarta,
mengajarkan presiden pertama Negara Indonesia adalah Sukarno, bahasa nasional
bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Selain itu para guru membuat kalimat
“ Ini Ibu Budi, Ini Ayah Budi, Ayah pergi ke sawa, Cndi Brobudur berada di Jawa
Tengah, presiden RI ke 2 adalah Suharto dan berbagai bentuk jawa sentrisme
lainnya. Sekolah di papua mengajarkan dengan
metode jawa sentries. Guru guru di papua mengajarkan dengan metode kurikulum 1994.
Para guru mendoktrin siswa harus menghapal presiden Indonesia dari pertama
sampai sekarang. Guru guru mengajarkan kepada siswanya bahwa “siswa harus
menghapal perklaian 1 sampai 10, harus menghafal huf abjad dari A- Z. Guru
tidak mengajarkan dasar pembentukan huruf, guru tidak menajarkan apa maksud
dari 1 + 1=2, apa maksud dari Ayah Pergi ke sawah, Apa Mkasud dari NKRI, siapa
itu presiden sukarno, pandangan politiknya seperti apa dan tidak menjarkan
bentuk bentuk lainnya.
Sekolah Sekolah di Papua adalah Barak
Militer. Pada hal sejatihnya menurut Summerhill dalam bukunya Moh Yamin, “Sekolah
yang membebaskan”, sekolah adalah membebaskan setiap anak untuk belajar
atau mangkir, bebas bermain selama berhari-hari atau berminggu-minggu, atau
bertahun –tahun bila perlu, bebas dari indoktrinasi agama, atau moral atau
politik. Summerhill telah membuktikan kepada dunia bahwa sekolah dapat
menghilangkan ketakutan siswa terhadap guru, yang lebih penting lagi, ketakutan
terhadap hidup. Lain teori lain perakterk. Itulah yang terjadi di papua dari
masa ke masa. Sekolah momok bagi siswa. Siswa dihalangi dengan tembok pagar
besi, kawat duri yang mengilingi sekolah, sekolah duri bagi siswa, sekolah seibarat
gunung yang menghalangi setiap anak yang ingin bermain di sekolah. Satpam
sekolah melarang siswa bermain di halaman sekolah, sekolah hanya istana bagi
kepala sekolah, guru, Stokholder pendidikan. Dalam ruangan kelas dikuasai oleh
guru, dalam kelas guru adalah komandan battalion. Semua harus mendengarkan
guru. Aturan belajar dikelas dibuat oleh guru, tanpa melibatkan siswa. Siswa
patuh pada guru, karena guru adalah yang tau segala-galanya. Terlambat masuk
kelas 1 enit pushap dengan gaya militer 1x50. Terlambat 2 menit 2 x50 dan seterusnya. Didalam kelas adalah penjara.
Semua aturan main ditentukan oleh guru, tatatertip temple pada dinding kelas.
Berbagai aturan yang dibuat oleh sekolah temple di setiap kelas. Siswa hanya
menatuhi aturan tersebut.
Kepela sekolah di papua adalah raja.
Ketika kepala sekolah berjalan jalan di halaman sekolah semua siswa yang berada
disekitarnya harus tunduk kepada kepala sekolah. Ketika mau membuang air kecil
dan maupun besar siswa yang ada di kamar mandi harus tunduk kepadanya. Mau
bertemu dengan kepala sekolah harus melalui prosedur. Memang kepala sekolah
adala raja bagi siswa. Jika siswa tidak mematuhi atauran sekolah, maka sekolah
mengeluarkan siswa tersebut dari sekoah, tanpa mempetimbangkan
pertimbangan-pertimbangan yang perlu dipertimbangkan. Sekolah mendidik manusi-manusia robot,
menciptakan manusi robot, sehingga bangsa ini dipenuhi dengan manusia robot. Sekolah
sudah menjadi neraka yang penuh dengan api yang siap mematikan anak didik dalam
melakukan proses belajar mengajar. Sekolah sudah menggeruskan kehidupan anak didik yang seharusnya menjadi
bebas, steril dari desakan-desakan yang berpotensi menghancam kemerdekaan
peserta didik dalam belajar. Dengan demikian sekolah dianalogikan sebagai tempat
untuk membunuh segala bentuk kebebasan dan kemerdekaan hidup peserta didik
dalam mengaktualisasikan segala bakat serta potensinya, sehingga dengan kondisi
demikian disnilah sebuah ketidakjelasan sekolah dalam membangun anak bangsa.
Sekolah sekolah di Papua memiskinkan
kreatifitas anak papua. Sekolah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada anak didik unutk mengekpresikan bakatnya dan mengembangkan minatnya demi
menumbuhkembangkan minat dan bakat tersebut. Namun lain halnya, Ruang gerak siswa dibatasi,
mematikan kreatifitas anak didik, sehingga memiskinkan kreatifitas. Di sekolah
adalah tempat unutk memulai kreatifitas, sekolah mefasilitasi untuk kembangkan
kreatifitsnya. Sekolah adalah penjara untuk mematikan kreatifitas siswa. Sekolah
di papua hanya memberikan kebebasan kepada anak didik yang herbakat alah raga
terutama sepak bola. Sehingga mereka yang bakat di bidang itu berkembang. Sekolah
hanya menyediakan fasilitas olah raga sedangkan fasilitas lainnya diabaikan. Pengembangan siswa yang terpenting diabaikan,
sedangkan yang kurang terpenting seperti sepak bola diutamankn. Dengan demikain
sekolah di papua menciptakan manusia bermental sepak bola. Manusia papua
bermental sepak bola, karena kulup-kulup
di bangsa Indonesia ini ada pemain papua,
dan diketahui bahwa dialah (pemain papua) baik diantara pemain local Indonesia
lainnya. Pasilitas sepak bola di sekolah pun masih kurang, ditambah dengan
pendidikan sepak bolah yang tidak memadai, sehingga menciptakan pesepak bola
yang bermental keupuk.
Guru di papua tidak ingin
mengajarkan cara memulai kreatifitas anak didik. Sengaja dibiarkan anak didik
merabah-rabah, dari mana saya harus mulai, kemana saya harus pergi. Setidaknya
guru sebagai pendamping musti harus memberikan teladan yang sepantasnya agar
selanjutnya sisiwa mengembangkan sendiri. Sementara itu Clegg dan Birch mengatakan,
dalam dunia pendidikan, kreatifitas tidak disukai karena melawan hasil yang
diinginkan pendidik. System pendidikan menginginkan siswa harus lulus dari
semua ketetapan yang ditepkan oleh pemerintah, dengan demikian setiap guru
harus berpatokan pada system tersebut sehingga mau tidak mau harus mata
pelajaran yang diajarkan lulus. Ruang gerak kreatifitas anak didik dimatikan.
Terutama mematikan ruang gerak anak didik yang berpotensi menjadi penuis,
fiskawan, menguasai sains dan bidang-bidang eksata lainnya.
Sekolah-sekolah di papua masi
menerapkan Pendidikan Banking. Anak
–anak papua adalah Bank sehingga para guru menyetor dana ke bank tersebut. Guru
guru yang aktif dalam kelas, mereka yang tau, sedangkan siswa belum tau
apa-apa. Model pendidikan ini dikitisi oleh Freire, namun di papua masih
berlaku sampai sekarang. Guru mengajar,
Murit diajar, guru-guru yang menjar di papua masi terjadi sampai sekarang. Baik
itu guru yang lulus dari luar papua masi pakai model mengajar ini. Guru guru
AMBER sama saja, baik guru yang berasal dari Jawa, Madura, Makasar, Batak,
Medan yang mengajar di papua sama semua. Mereka kerapkali menajar pakai metode guru mengajar, siswa diajar.
Memang tugas seorang guru adalah mengajar, tetapi kondisi saat ini guru tidak
perluh interfensi dalam kelas bahwa saya harus menjar sedangkan anak didik
harus diajar karena saya yang tau segalanya. Pandangan ini sangat konyol, namun
masih saja terjadi di papua.
Guru lebih menguasai, murid Belum
tahu, pandangan bahwa guru adalah lebih tau dari segal-galanya di kelas
termasuk sisiwa. Pandangan ini pun masih terjadi di papua, pandangan siswa
disalahkan, runag gerak siswa dibatasi karena dianggap tidak tau, hanya saya
seorang guru saja tau. Semstinya pandangan siswa pun diapresiasi oleh guru,
namun lain halnya di papua. Guru memang menjajah anak-anak papua yang hendak
melanhkah ke dunia luas. Guru bercetia, murid mendengarkan, guru membuat
peraturan, murid diatur, guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menurutinya, guru bertindak, murid membanyangkan bagaimana bertindak sesuai
dengan tindakan gurunya, guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan
diri, guru adalah subjek prses belajar,
siswa objeknya. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi di sekolah-sekolah yang
berada di papua. Proses pendidikan semacam ini masi berkembang sampai saat ini.
Menciptakan manusia papua yang bermental robot, bermental konsumtif, bermental pengamen.
Kondisi ini direfleksikan oleh para pemangku kepentingan pendidikan. Sekolah di
papua mengarakan ke arah mana, dari mana harus memulai, kemana harus pergi?.
Refrensi:
Asep Sapa’at, “
Stop Menjadi Guru”
Moh.Yamin “Sekolah
yang membebaskan”
Muhaimin Azzet,
Pendidikan Yang membebaskan”
Penulis
adalah Mahasiswa FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar