berita

Source: http://www.amronbadriza.com/2012/07/cara-membuat-judul-blog-bergerak.html#ixzz2HGOAa7ZG

Senin, 23 April 2012

Nasionalisme yang (Hampir) Terkoyak

Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu…….

Syair diatas adalah sepenggal dari nyanyian Indonesia Raya, yang telah diciptakan dari seoarang WR Supratman sebagai sebuah seruan,keteguhan sikap dari anak bangsa disemua pelosok untuk bersatu demi Indonesia. Sampai hari ini lagu tersebut akan tetap terdengarkan, tidak terkecuali di ajang Sepak Bola sekalipun.


Ketika Timnas berlaga maka lagu Indonesia akan dinyanyikan, suasana kebatinan selalu muncul manakala kita benar – benar menyanyikannya dengan khusuk, ada semangat berkobar – kobar, hanya untuk Indonesia. Begitu kuatnya rasa kebangsaan, tak pelak pulalah seorang Reno Suharto Alpino Arena jatuh hati pada TIMNAS saat Final Sea Games beberapa waktu lalu, walaupun ia harus wafat karena terinjak injak saat akan memasuki stadion.

Namun dibalik semua kejadian tersebut menunjukkan bahwa begitu besar kecintaan masyarakat akan sepak bola,dan dari sana pulalah melahirkan GARUDA DI DADA KU, hingga bermuara pada semangat NASIONALISME.

Nasionalisme dalam sepak bola adalah gejala universal di banyak negara. Penggemar sepak bola selalu mengidentikan diri dengan sesuatu yang paling relevan, yakni tim nasional negara masing-masing.

Dari semangat nasionalisme tersebutlah setiap kita harus melepaskan suku,agama, dan ras. Begitu pulalah hakikat berdirinya organisasi sepak bola di negeri ini yang pada awalnya untuk mempersatukan anak negeri yang beragam,menyatukan anak bangsa dari keterbelakangan, dari keterkunkungan penjajahan.Dan ternyata dengan kobaran nasionalisme kita telah mampu melahirkan organisasi yang mengatur tentang sepak bola itu sendiri, yang diberi nama PSSI.

PSSI milik kita semua, milik orang Papua,Maluku,Sulawesi,Sumbar,Jakarta,Jambi,dan lainnya.PSSI milik kita semua, milik pedagang,petani,nelayan, hingga “kasta” tertinggi dalam masyarakat sekalipun.PSSI milik kita semua.

Itulah idealnya, namun merujuk pada kondisi persepak bola saat ini semua yang peduli akan persatuan bangsa akan terhenyak menyaksikan betapa kita telah terkotak – kotak, terpecah belah, sepak bola telah memisahkan kita,sepak bola telah meminggirkan rasionalitas,sepak bola telah menggiring masing – masing kita pada kepentingan kelompok, kepentingan bisnis segelintir orang.Dan , jika tidak teratasi cepat maka bisa jadi sepak bola akan “mengubur” semangat nasionalisme yang berkobar selama ini.

Kini usia PSSI telah 82 tahun, para pemegang kendali persepak bolaan di negeri ini mesti menyadari kebesaran nilai nasionalisme dalam sepak bola, tidak berselimut dalam bingkai perpecahan,tidak memicu kebimbangan dalam diri pemain, serta masyarakat luas yang sangat menantikan bersatunya anak negeri melaui sepak bola.

Sangat sulit dipahami ditengah harapan besar masyarakat akan prestasi, kita kian terjebak dalam perpecahan,lebih – lebih lagi dengan munculnya Dualisme TIMNAS.

Dimanakah kita harus memposisikin nasionalisme itu ? Banggakah kita dengan dua TIMNAS dalam perpecahan ? Namun dalam pikiran sehat tidak ada seorangpun yang rela sepak bola tercabik – cabik.

Semua elemen masyarakat harus tetap berpadu untuk mendorong selesainya konflik kepentingan dalam sepak bola,Para tokoh – tokoh besar yang peduli akan sepak bola demi persatuan harus melebur dalam solusi,tidak membiarkan terjadi efek yang semakin luas, tidak terkecuali kebesaran jiwa seorang Djohar arifin dan La Nyalla Mattalitti agar tidak terjebak pada manajemen ego semata, sehingga mengorbankan pemain,supporter,dan sepak bola itu sendiri. Kebesaran nama seorang Arifin Panigoro,Cs serta Nirwan Bakrie,Cs harus benar benar ditunjukkan dalam memajukan sepak bola dalam satu kesatuan. Kemudian peran pemerintah sepertinya “mendesak” diperlukan, pemerintah harus mendapatkan inisiatif untuk mencari solusi yang terbaik, demi menyelamatakan sepak bola serta potensi anak bangsa .

Kita sesungguhnya tidak sedang menerapkan strategi putus asa.Semangat nasionalisme jangan sampai “terkoyak”.Kita harus bangkit. 15 Juni 2012 sebagai batas yang ditentukan FIFA agar terselesainya konflik di tubuh PSSI, besar harapan sebelum batas tersebut kita telah keluar dari cengkraman perecahan sepak bola.Harapan itu masih ada dan pasti bisa.

Sesungguhnya masing – masing kita punya peluang untuk dikenang dalam bingkai keemasan, namun masing – masing kita juga punya peluang untuk dikenang dalam bingkai kegelapan.

Salam nasionalisme.

Tidak ada komentar: